Laporan-Kegiatan
REPORTASE
Webinar
Sesi terakhir merupakan sesi closing statement dari para pembicara. Ibu Indah menyampai Kemenkes merasa RUU Kesehatan menjadi PR yang berat karena membutuhkan pendalaman dan kepastian dari legislatif. Kemenkes saat ini sedang concern untuk review beberapa regulasi yang berkenaan untuk transformasi beberapa pilar di sistem kesehatan. Kemenkes berkomitmen untuk mewujudkan transformasi sistem kesehatan. Kemenkes berharap adanya kolaborasi dan koordinasi dengan multi pihak untuk penyusunan regulasi. dr. Mahesa menegaskan bahwa IDI dan seluruh OP tetap menjaga komitmen untuk mendukung pemerintah dan legislatif dalam memperbaiki sistem kesehatan. IDI juga mengingatkan untuk kesehatan jangan hanya dianggap untuk kepentingan politik saja. Penyampaian terakhir adalah Bu Rima yang menyampaikan bahwa penyusunan Ombinus Law tidak hanya melihat dalam konteks teknik penyusunan saja, namun akademisi akan menyampaikan bahwa asas-asas P3 tidak ditinggalkan sehingga dalam implementasinya akan berjalan dengan baik.
Pada Januari 2020, Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) mengajukan judical review ke MA terkait Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Gugatan itu dikabulkan MA pada Senin (9/3), implikasinya kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan sejak 1 Januari 2020 pun dibatalkan. Prof dr. Laksono Trisnantoro Msc, PhD sebagai pemantik diskusi menyampaikan tim PKMK UGM telah melakukan kajian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang terjadi sejak 2014. “Kami dari PKMK FK – KKM UGM menelisik kembali apa yan terjadi sejak 2014 terkait JKN. Apakah implikasi dari putusan MA. Apakah BPJS Kesehatan akan susah hidup atau malah merujuk pada keinginan memperbaiki BPJS Kesehatan. Kami juga ingin melihat kemungkinan – kemungkinan untuk revisi Undang – Undang JKN atau BPJS,”ujar Prof Laksono Trisnantoro.
Prof Laksosno menyampaikan beberapa tujuan seminar, yang pertama memahami prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam JKN yang seharusnya terjadi. Kedua untuk memahami dilema kenaikan tarif iuran jaminan kesehatan dari berbagai sudut pandang. Ketiga untuk memperluas pandangan mengenai kenaikan tarif iuran jaminan kesehatan, berbasis data. Keempat untuk memahami upaya bangsa pasca keluarnya putusan MA tentang Tarif Iuran PBPU BPJS. Laksono menekankan bahwa pihaknya tidak akan menetang putusan MA. “Diskusi ini kita tidak akan menentang MA. Kita akan memahami konsekuensinya dan mencari apa solusi yang mungkin,” ujarnya.
Dalam diskusi ini, hadir juga perwakilan Aliansi Buruh Yogyakarta Kirnadi yang menyampaikan masalah BPJS Kesehatan dari sudut pandang kelompok buruh. Kirnadi mengakui bahwa selama ini aliansi buruh masih berkutat pada masalah dasar. “Serikat pekerja atau buruh bahkan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih berkutat pada problem dasar, yakni persoalan perut. Fakta di DIY, upah minumumnya termasuk rendah di Indonesia. Kita sudah bertahun – tahun menyampaikan kepada pemerintah, namun tidak ada respon sama sekali,” ujar Kirnadi.
Kirnadi menyatakan sebenarnya aliansi buruh merupakan kelompok yang paling aktif mendorong lahirnya UU BPJS. “Kami kelompok masyarakat yang melakukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di era SBY – Budiono terkait kelalaian presiden dan wakil presiden yang tidak melaksanakan sistem SJSN. Gugatan tersebut akhirnya dimenangkan, lalu negara wajib menyelenggrakan program JKN,” kata Kirnadi. Selama ini kelompok buruh belum mengamati isu JKN secara mendetail, seperti yang dilakukan PKMK FKKMK UGM terkait penggunaan dana – dana BPJS Kesehatan. Kirnadi menyampaikan, masalah seputar JKN yang selama ini menjadi perhatian kelompok buruh ialah perusahaan hanya mendaftarkan sebagian upah, sebagian program dan sebagian sebagian peserta.
Direktur Social Movement Institute, Eko Prasetyo juga menyampaikan masalah JKN dari sudut pandang masyarakat miskin. Penulis buku “Orang Miskin Tidak Boleh Sakit” ini menyampaikan bahwa Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) didominasi oleh kelas menengah, yakni kelompok yang rentan miskin. Kelompok ini merupakan konsumen terbesar. “Mereka banyak yang tak membayar iuran namun nyaris empat kali lipat pakai JKN. Karena mereka punya suara banyak, upaya menutup defisit secara administratif (seperti dijadikan syarat mengurus Surat Izin Mengemudi) akan digugat banyak orang,” ujar Eko.
Eko juga menyoroti permasalahan kesehatan lainnya yang diterima kelompok miskin. Masyarakat miskin ternyata mayoritas berada di daerah pedesaan dan pelosok. Nyatanya, pelayanan kesehatan belum sampai di daerah pelosok. “Saya beberapa kali advokasi orang miskin, selalu berhadapan dengan tenaga (medis) yang minim,” ujar Eko.
Mengenai putusan MA, Eko menyatakan putusan tersebut sangat tidak terduga. “Pemerintah terkejut, BPJS Kesehatan pun saya yakin terkejut. Memang, MA independen. Kita tidak sangka MA di sini sangat penting dan kebijakan sekarang ini bisa digugat dengan mudah,” ujar Eko.
Eko menyampaikan bahwa pemerintah perlu berkooordinasi terkait isu BPJS Kesehatan. Kondisi di mana durasi politik pendek, membuat opini menjadi kiblat pemerintah. Pemerintah harus punya keberanian ambil rekomendasi dari akademisi dan pihak-pihak lain. “Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri” tegas Eko. Ia menambahkan pentingnya upaya pemerintah untuk menganggarkan dana yang lebih di sektor kesehatan. “Negara itu tidak boleh boros, kecuali untuk kesehatan dan pendidikan. Ini yang mengatakan Lenin,” tambah Eko.
Di sisi lain, peneliti PKMK FK – KMK UGM mencoba memberikan sudut pandang terkait implementasi JKN. Tri Aktariyani melihat implikasi pengelolaan BPJS Kesehatan yang saat ini menggunakan sistem single pool. Peneliti yang akrab disapa Tari ini membedah defisit yang terjadi akibat sistem pengelolaan iuran BPJS Kesehatan dengan sistem single pool. “Sejak 2014 – 2019, total defisit PBPU yakni Rp 62 Trilyun. Di sisi lain, iuran dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) surplus Rp 25 Trilyun. Namun surplus PBI tetap tidak cukup untuk menutup defiit,” ujar Tari.
Peneliti yang sempat menempuh pendidikan Master di Fakultas Hukum UGM ini juga melihat bahwa pelaksanaan JKN belum sesuai prinsip keadilan sosial. Ia menyebut UU SJSN yang menyebut kebijakan kompensasi belum dilaksanakan dengan baik. “Dana PBI yAPBN selama ini digunakan oleh masyarakat relatif mampu. Kebijakan kompensasi yang untuk masyarakat di daerah tertingal pun tidak dijalakan. Harapan kami dari penelitian ini adalah revisi UU SJSN,” ungkap Tari.
Senada dengan Tari, peneliti PKMK yaitu M Faozi Kurniawan juga mencoba melihat dampak batalnya kenaikan iuran BPJS Kesehatan dari sisi keuangan negara dan dampaknya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Faozi menjelaskan menurut perhitungan dari Kementerian Keuangan, proyeksi defisit semakin besar. Jika iuran tak dinaikkan, defisit di PBPU terjadi hingga selisih Rp 50 Trilyun. Kenaikan iuran dari PBI APBN dan Pekerja Penerima Upah (PPU) diperkirakan tidak dapat menutup defisit ini.
“Ketika BPJS Kesehatan menggunakan segmen peserta lain untuk menutup defisit, PBI APBD tetap menyumbang defisit. BPJS Kesehatan pun akan selalu tergantung pada anggaran pemerintah,” ujar Faozi. Hal ini akan mengurangi anggaran -anggaran sektor lain terutama di sektor kesehatan. Hal ini menyebabkan APBN yang kini defisit semakin defisit.
Keluhan yang sama juga disampaikan oleh perwakilan Dinas Kesehatan DIY, M. Agus Priyanto. Agus mempertanyakan dampak putusan MA terhadap kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DIY. Agus menuturkan, sebelum putusan MA dijatuhkan, APBD DIY untuk BPJS Kesehatan sudah tertekan. Pihaknya menuturkan sudah menganggarkan Rp 220 M untuk JKN.
Agus menjelaskan saat ini beban Pemerintah Daerah DIYjuga cukup berat. “Apakah PBI 100 persen miskin? Saat ini di DIY, terdapat 1034 orang tidak mampu yang belum masuk skema kepesertaan BPJS Kesehatan. Banyak orang miskin di luar sana belum dapat keadilan akses. Kelompok marjinal tidak mempunyai KTP dan KK yang basisnya NIK itu yang menanggung Pemda,” ujar Agus.
Deputi Direksi Bidang Riset dan Inovasi BPJS Kesehatan Pusat, Benjamin Saut PS menyatakan BPJS Kesehatan selama ini menunjukkan progress yang cukup baik. Misalnya, setiap harinya ada 765 ribu orang yang menggunakan pelayanan BPJS Kesehatan. Bahkan total pemanfaatannya pun mencapai Rp 1,1 M. “Hal ini jadi penilaian. Selain negara hadir untuk seluruh segmen, impactnya dirasakan baik dari utilisasi maupun angka indikator,” ujar Benjamin.
Selama ini posisi BPJS Kesehatan yakni Social Health Insurance. Benjamin menyebut karena menjalankan prinsip asuransi sosial, BPJS Kesehatan ialah single payer. Mengenai defisit yang dikeluhkan banyak pihak, Benjamin menerangkan sebabnya ialah iuran BPJS Kesehatan yang underprice.
“Kondisi sejak awal, sudah ada kondisi underpricing dari iuran tersebut sehingga menyebabkan defisit. Memang pemerintah menyampaikan kekurangan tersebut akan ditanggung negara baik dengan penanaman modal atau subsidi. Sampai tahun ke – 6 penyelenggaraan dilakukan evaluasi, kemudian Perpres No 75 lahir untuk penyesuaian iuran. Sudah cukup lama tidak ada kenaikan,” jelas Benjamin.
Benjamin pun memberikan pendapat – pendapat untuk mengatasi masalah BPJS Kesehatan. Ia menuturkan ada tahap – tahap yang akan dilalukan BPJS Kesehatan. Pertama melakukan kajian tentang manfaat JKN dan reshaping tentang kebutuhan dasar kesehatan. Ia menuturkan penjaminan sosial saat ini masih banyak yang beririsan. Benjamin menyatakan penting untuk menganalisis penjaminan sosial sehingga tidak ada penjaminan ganda. Setelah reshaping, manfaat JKN akan disesuaikan berdasarkan prinsip asuransi, masalah cakupan, finansial negara lalu ditetapkan kelas sandar.
“Kelas standar ini menjadi roadmap BPJS Kesehatan dan saat ini belum diimplementasikan. Apakah dengan tahapan dua kelas lalu jadi satu kelas. Yang pasti definisinya kelas standar. Setelah kelas standar akan ada tarif tunggal,” ujar Benjamin.
Sebagai pelaksana JKN, Benjamin pun menanyakan solusi yang ditawarkan oleh PKMK FK – KMK UGM untuk mengatasi masalah di BPJS Kesehatan. Menanggapi hal ini, Profesor Laksono menyatakan pihaknya tetap menghormati putusan MA. Meski demikian, ia mengusulkan adanya revisi UU SJSN. Selain itu Profesor Laksono Trisnantoro tetap menyarankan sistem single pool sebagai solusi mengatasi defisit BPJS Kesehatan. “UGM tidak sepakat single pool. Kalau tidak kompatermenisasi, dana untuk orang miskin akan dialirkan ke orang kaya,” tegas Laksono.
Materi presentasi dapat disimak pada link berikut MATERI
Reportase Webinar