• UGM
  • IT Center
Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Program Studi Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Minat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan
  • Home
  • Tentang KMPK
    • VISI & MISI
  • Kurikulum Minat
    • Materi Kuliah
  • Dosen & Tendik
  • Kegiatan Ilmiah
  • FAQs & Hubungi Kami
    • Galeri Foto
  • Beranda
  • Laporan-Kegiatan
Arsip:

Laporan-Kegiatan

Reportase Kunjungan Mahasiswa Minat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan (KMPK) Prodi Magister Kebijakan dan Manajemen Kesehatan ke Puskesmas Tanah Abang Jakarta

Laporan-Kegiatan Monday, 1 July 2024

/*! elementor - v3.15.0 - 20-08-2023 */ .elementor-widget-text-editor.elementor-drop-cap-view-stacked .elementor-drop-cap{background-color:#69727d;color:#fff}.elementor-widget-text-editor.elementor-drop-cap-view-framed .elementor-drop-cap{color:#69727d;border:3px solid;background-color:transparent}.elementor-widget-text-editor:not(.elementor-drop-cap-view-default) .elementor-drop-cap{margin-top:8px}.elementor-widget-text-editor:not(.elementor-drop-cap-view-default) .elementor-drop-cap-letter{width:1em;height:1em}.elementor-widget-text-editor .elementor-drop-cap{float:left;text-align:center;line-height:1;font-size:50px}.elementor-widget-text-editor .elementor-drop-cap-letter{display:inline-block}

SELENGKAPNYA

Reportase Workshop Penyusunan Proposal Riset Implementasi Kebijakan Batch II

Laporan-Kegiatan Wednesday, 26 June 2024

SELENGKAPNYA

Workshop Penyusunan Proposal Riset Implementasi Kebijakan Batch I

Laporan-Kegiatan Wednesday, 26 June 2024

SELENGKAPNYA

Webinar Series 3 – Desain Studi Riset Implementasi Kebijakan

Laporan-Kegiatan Wednesday, 7 February 2024

REPORTASE

SELENGKAPNYA

Webinar Series 2 – Merancang Pertanyaan Riset Implementasi Kebijakan

Laporan-Kegiatan Thursday, 1 February 2024

REPORTASE

SELENGKAPNYA

Webinar Series 1 – Perkenalan Riset Implementasi

Laporan-Kegiatan Thursday, 25 January 2024

 

REPORTASE

Webinar

SELENGKAPNYA

Kegiatan Pembelajaran Pembuatan Policy Brief Mahasiswa KMPK 2023

Laporan-KegiatanPolicy Brief Wednesday, 10 January 2024

SELENGKAPNYA

Seminar Rabuan – Harapan Dan Permasalahan Dalam Penyusunan RUU Tentang Kesehatan (Omnibus Law) Tahun 2023

Laporan-Kegiatan Thursday, 10 November 2022

Minat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM telah menyelenggarakan Seminar Rabuan dengan tema “Harapan Dan Permasalahan Dalam Penyusunan RUU Tentang Kesehatan (Omnibus Law) Tahun 2023” pada Rabu, 12 Oktober 2022 mulai pukul 10.00-12.00 WIB melalui media online meeting zoom. Acara dibuka oleh dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D selaku Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan. Diskusi dipandu oleh Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, M.Kes selaku moderator. Pembicara pertama adalah Indah Febrianti, S.H., M.H (Kepala Biro Hukum Kementerian Kesehatan) yang menjelaskan saat ini terdapat banyak peraturan perundang-undangan tentang kesehatan yang saat ini sudah dijalankan. Namun memang perlu penguatan untuk pelaksanaannya. Metode Omnibus Law dalam pembentukan RUU diatur dalam UU No.13 Tahun 2012. Ketika akan adanya Omnibus Law maka perlu ada dokumen perencanaan. Perlu ada kajian bersama ketika memang RUU Omnibus Law sudah ada dan sudah disepakati antara pemerintah dan DPR. Kemenkes memiliki pandangan bahwa regulasi kesehatan saat ini mempunyai jumlah yang terlalu banyak dan dapat mengarah pada regulasi yang berkualitas buruk sehingga akan berpotensi tercipta disharmoni regulasi. Regulasi yang buruk akan berpotensi untuk terjadinya saling bertentangan antara regulasi yang satu dengan yang lainnya, tumpang tindih, multi tafsir. tidak taat asas, tidak efektif, menciptakan beban yang tidak perlu, menciptakan biaya tinggi. Ibu Indah menegaskan bahwa terkait Omnibus Law Kesehatan, saat ini Kemenkes masih menunggu informasi dan koordinasi lebih lanjut dengan kementerian dan pihak terkait. Pembicara selanjutnya adalah dr. Mahesa Paranadipa Maikel, M.H (Wakil Ketua Umum 2 PB IDI Pusat) yang menyampaikan bahwa pada bulan Juni 2022 IDI pernah memaparkan terkait urgensi revisi UU Praktik Kedokteran, namun saat ini yang urgent adalah UU Pendidikan Kedokteran. Adanya naskah akademik terkait RUU Kesehatan yang beredar di sosial media membuat PB IDI merespon. Pada pasal 453, adanya mekanisme omnibus law menyatakan akan mencabut 9 UU yang sudah ada, seperti UU terkait pengaturan profesi akan dicabut. Beberapa hal yang diubah seperti terkait dokter asing, pelatihan/fellowship/gelar subspesialis, STR, SIP yang sudah tidak ada rekomendasi dari organisasi profesi, KKI dan KTKI, Majelis Penegakkan Disiplin (ad hoc). Di daftar nomor 16 RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2022, RUU Omnibus Law Kesehatan sudah disetujui DPR, tapi belum ada di website (belum dipublikasikan secara resmi). Disisi lain ada RUU terkait obat dan pendidikan dokter yang juga disetujui oleh DPR di tahun 2023, sehingga dikhawatirkan dapat tumpang tindih. Adanya asas solus poli suprema lex esto, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Sehingga IDI juga dilibatkan dalam perumusan maupun implementasi kebijakan kesehatan. Pembicara ketiga adalah Dr. Rimawati, SH, M.Hum (Dosen Fakultas Hukum UGM) yang menerangkan bahwa sistem hukum Indonesia adalah civil law system, sedangkan Omnibus Law adalah common law system, dengan adanya Omnibus Law akan ada perubahan UU di Indonesia, karena pemerintah merasa dimudahkan dengan melihat 1 regulasi saja. Dasar hukumnya di UU No 13 Tahun 2022 Perubahan Kedua UU Nomor 12 Tahun 2011, namun UU ini tidak menghapus UU No.12 Tahun 2011 tentang P3. Omnibus Law sangat berkaitan dengan upaya penyederhanaan regulasi untuk harmonisasi peraturan perundang-undangan, metode ini bisa menekan ego sektoral. Omnibus Law adalah peraturan perundang-undangan yang mengubah/mencabut beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan dari sektor-sektor yang berbeda untuk disatukan ke dalam 1 peraturan perundang-undangan. Omnibus Law bukan sebagai undang-undang payung. Teknik pembentukan UU Omnibus Law berbeda dengan UU biasa. Harus jelas perubahan atau pencabutannya, alasannya mengapa, harus ada landasan filosofis dan yuridisnya. Dalam konsep civil law system, UU menjadi kodifikasi (pembukuan hukum dalam satu himpunan UU dalam materi yang sama). Naskah Akademik (NA) semua regulasi yang akan disimplifikasi menjadi Omnibus Law akan berbeda-beda dengan UU spesifik (misal UU Kesehatan Jiwa). Omnibus Law bisa meningkatkan efisiensi biaya dan efektivitas waktu, harmonisasi pengaturan akan terjaga, partai oposisi memiliki kesempatan untuk melakukan pembahasan bersama. Implikasinya pada beberapa peraturan yang akan dicabut seperti wabah penyakit menular, kesehatan, rumah sakit, kesehatan jiwa dan kekarantinaan kesehatan. Beberapa tantangan yang akan ada yaitu permasalahan regulasi kesehatan Indonesia kompleks, adanya prinsip supremasi konstitusi, kejelasan isu dalam sistem kesehatan dan partisipasi publik dalam pembentukan RUU Kesehatan.

Sesi terakhir merupakan sesi closing statement dari para pembicara. Ibu Indah menyampai Kemenkes merasa RUU Kesehatan menjadi PR yang berat karena membutuhkan pendalaman dan kepastian dari legislatif. Kemenkes saat ini sedang concern untuk review beberapa regulasi yang berkenaan untuk transformasi beberapa pilar di sistem kesehatan. Kemenkes berkomitmen untuk mewujudkan transformasi sistem kesehatan. Kemenkes berharap adanya kolaborasi dan koordinasi dengan multi pihak untuk penyusunan regulasi. dr. Mahesa menegaskan bahwa IDI dan seluruh OP tetap menjaga komitmen untuk mendukung pemerintah dan legislatif dalam memperbaiki sistem kesehatan. IDI juga mengingatkan untuk kesehatan jangan hanya dianggap untuk kepentingan politik saja. Penyampaian terakhir adalah Bu Rima yang menyampaikan bahwa penyusunan Ombinus Law tidak hanya melihat dalam konteks teknik penyusunan saja, namun akademisi akan menyampaikan bahwa asas-asas P3 tidak ditinggalkan sehingga dalam implementasinya akan berjalan dengan baik. SELENGKAPNYA

Seminar Apakah Kenaikan Iuran BPJS yang dibatalkan MA Mampu Menerapkan Prinsip Keadilan Sosial dalam JKN ataukah Sebaliknya?

Laporan-Kegiatan Tuesday, 17 March 2020

PKMK – Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (PKMK FK – KMK UGM) mengelar diskusi terkait permasalahan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada Kamis (12/3). Seminar yang bertajuk “Apakah Kenaikan Iuran BPJS yang Dibatalkan MA Mampu Menerapkan Prinsip Keadilan Sosial dalam JKN ataukah Sebaliknya?” tersebut dilaksanakan di Gedung Litbang Lantai 1, FK – KMK. Diskusi ini merupakan tanggapan atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Narasumber dalam seminar yakni Direktur Social Movement Institute Eko Prasetyo, perwakilan Aliansi Buruh Yogyakarta Kirnadi, serta peneliti PKMK FK – KMK yaitu Tri Aktariyani dan M Faozi Kurniawan.

Pada Januari 2020, Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) mengajukan judical review ke MA terkait Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Gugatan itu dikabulkan MA pada Senin (9/3), implikasinya kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan sejak 1 Januari 2020 pun dibatalkan. Prof dr. Laksono Trisnantoro Msc, PhD sebagai pemantik diskusi menyampaikan tim PKMK UGM telah melakukan kajian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang terjadi sejak 2014. “Kami dari PKMK FK – KKM UGM menelisik kembali apa yan terjadi sejak 2014 terkait JKN. Apakah implikasi dari putusan MA. Apakah BPJS Kesehatan akan susah hidup atau malah merujuk pada keinginan memperbaiki BPJS Kesehatan. Kami juga ingin melihat kemungkinan – kemungkinan untuk revisi Undang – Undang JKN atau BPJS,”ujar Prof Laksono Trisnantoro.

Prof Laksosno menyampaikan beberapa tujuan seminar, yang pertama memahami prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam JKN yang seharusnya terjadi. Kedua untuk memahami dilema kenaikan tarif iuran jaminan kesehatan dari berbagai sudut pandang. Ketiga untuk memperluas pandangan mengenai kenaikan tarif iuran jaminan kesehatan, berbasis data. Keempat untuk memahami upaya bangsa pasca keluarnya putusan MA tentang Tarif Iuran PBPU BPJS. Laksono menekankan bahwa pihaknya tidak akan menetang putusan MA. “Diskusi ini kita tidak akan menentang MA. Kita akan memahami konsekuensinya dan mencari apa solusi yang mungkin,” ujarnya.

Dalam diskusi ini, hadir juga perwakilan Aliansi Buruh Yogyakarta Kirnadi yang menyampaikan masalah BPJS Kesehatan dari sudut pandang kelompok buruh. Kirnadi mengakui bahwa selama ini aliansi buruh masih berkutat pada masalah dasar. “Serikat pekerja atau buruh bahkan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih berkutat pada problem dasar, yakni persoalan perut. Fakta di DIY, upah minumumnya termasuk rendah di Indonesia. Kita sudah bertahun – tahun menyampaikan kepada pemerintah, namun tidak ada respon sama sekali,” ujar Kirnadi.

Kirnadi menyatakan sebenarnya aliansi buruh merupakan kelompok yang paling aktif mendorong lahirnya UU BPJS. “Kami kelompok masyarakat yang melakukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di era SBY – Budiono terkait kelalaian presiden dan wakil presiden yang tidak melaksanakan sistem SJSN. Gugatan tersebut akhirnya dimenangkan, lalu negara wajib menyelenggrakan program JKN,” kata Kirnadi. Selama ini kelompok buruh belum mengamati isu JKN secara mendetail, seperti yang dilakukan PKMK FKKMK UGM terkait penggunaan dana – dana BPJS Kesehatan. Kirnadi menyampaikan, masalah seputar JKN yang selama ini menjadi perhatian kelompok buruh ialah perusahaan hanya mendaftarkan sebagian upah, sebagian program dan sebagian sebagian peserta.

Direktur Social Movement Institute, Eko Prasetyo juga menyampaikan masalah JKN dari sudut pandang masyarakat miskin. Penulis buku “Orang Miskin Tidak Boleh Sakit” ini menyampaikan bahwa Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) didominasi oleh kelas menengah, yakni kelompok yang rentan miskin. Kelompok ini merupakan konsumen terbesar. “Mereka banyak yang tak membayar iuran namun nyaris empat kali lipat pakai JKN. Karena mereka punya suara banyak, upaya menutup defisit secara administratif (seperti dijadikan syarat mengurus Surat Izin Mengemudi) akan digugat banyak orang,” ujar Eko.

Eko juga menyoroti permasalahan kesehatan lainnya yang diterima kelompok miskin. Masyarakat miskin ternyata mayoritas berada di daerah pedesaan dan pelosok. Nyatanya, pelayanan kesehatan belum sampai di daerah pelosok. “Saya beberapa kali advokasi orang miskin, selalu berhadapan dengan tenaga (medis) yang minim,” ujar Eko.

Mengenai putusan MA, Eko menyatakan putusan tersebut sangat tidak terduga. “Pemerintah terkejut, BPJS Kesehatan pun saya yakin terkejut. Memang, MA independen. Kita tidak sangka MA di sini sangat penting dan kebijakan sekarang ini bisa digugat dengan mudah,” ujar Eko.

Eko menyampaikan bahwa pemerintah perlu berkooordinasi terkait isu BPJS Kesehatan. Kondisi di mana durasi politik pendek, membuat opini menjadi kiblat pemerintah. Pemerintah harus punya keberanian ambil rekomendasi dari akademisi dan pihak-pihak lain. “Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri” tegas Eko. Ia menambahkan pentingnya upaya pemerintah untuk menganggarkan dana yang lebih di sektor kesehatan. “Negara itu tidak boleh boros, kecuali untuk kesehatan dan pendidikan. Ini yang mengatakan Lenin,” tambah Eko.

Di sisi lain, peneliti PKMK FK – KMK UGM mencoba memberikan sudut pandang terkait implementasi JKN. Tri Aktariyani melihat implikasi pengelolaan BPJS Kesehatan yang saat ini menggunakan sistem single pool. Peneliti yang akrab disapa Tari ini membedah defisit yang terjadi akibat sistem pengelolaan iuran BPJS Kesehatan dengan sistem single pool. “Sejak 2014 – 2019, total defisit PBPU yakni Rp 62 Trilyun. Di sisi lain, iuran dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) surplus Rp 25 Trilyun. Namun surplus PBI tetap tidak cukup untuk menutup defiit,” ujar Tari.

Peneliti yang sempat menempuh pendidikan Master di Fakultas Hukum UGM ini juga melihat bahwa pelaksanaan JKN belum sesuai prinsip keadilan sosial. Ia menyebut UU SJSN yang menyebut kebijakan kompensasi belum dilaksanakan dengan baik. “Dana PBI yAPBN selama ini digunakan oleh masyarakat relatif mampu. Kebijakan kompensasi yang untuk masyarakat di daerah tertingal pun tidak dijalakan. Harapan kami dari penelitian ini adalah revisi UU SJSN,” ungkap Tari.

Senada dengan Tari, peneliti PKMK yaitu M Faozi Kurniawan juga mencoba melihat dampak batalnya kenaikan iuran BPJS Kesehatan dari sisi keuangan negara dan dampaknya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Faozi menjelaskan menurut perhitungan dari Kementerian Keuangan, proyeksi defisit semakin besar. Jika iuran tak dinaikkan, defisit di PBPU terjadi hingga selisih Rp 50 Trilyun. Kenaikan iuran dari PBI APBN dan Pekerja Penerima Upah (PPU) diperkirakan tidak dapat menutup defisit ini.

“Ketika BPJS Kesehatan menggunakan segmen peserta lain untuk menutup defisit, PBI APBD tetap menyumbang defisit. BPJS Kesehatan pun akan selalu tergantung pada anggaran pemerintah,” ujar Faozi. Hal ini akan mengurangi anggaran -anggaran sektor lain terutama di sektor kesehatan. Hal ini menyebabkan APBN yang kini defisit semakin defisit.

Keluhan yang sama juga disampaikan oleh perwakilan Dinas Kesehatan DIY, M. Agus Priyanto. Agus mempertanyakan dampak putusan MA terhadap kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DIY. Agus menuturkan, sebelum putusan MA dijatuhkan, APBD DIY untuk BPJS Kesehatan sudah tertekan. Pihaknya menuturkan sudah menganggarkan Rp 220 M untuk JKN.

Agus menjelaskan saat ini beban Pemerintah Daerah DIYjuga cukup berat. “Apakah PBI 100 persen miskin? Saat ini di DIY, terdapat 1034 orang tidak mampu yang belum masuk skema kepesertaan BPJS Kesehatan. Banyak orang miskin di luar sana belum dapat keadilan akses. Kelompok marjinal tidak mempunyai KTP dan KK yang basisnya NIK itu yang menanggung Pemda,” ujar Agus.

Deputi Direksi Bidang Riset dan Inovasi BPJS Kesehatan Pusat, Benjamin Saut PS menyatakan BPJS Kesehatan selama ini menunjukkan progress yang cukup baik. Misalnya, setiap harinya ada 765 ribu orang yang menggunakan pelayanan BPJS Kesehatan. Bahkan total pemanfaatannya pun mencapai Rp 1,1 M. “Hal ini jadi penilaian. Selain negara hadir untuk seluruh segmen, impactnya dirasakan baik dari utilisasi maupun angka indikator,” ujar Benjamin.

Selama ini posisi BPJS Kesehatan yakni Social Health Insurance. Benjamin menyebut karena menjalankan prinsip asuransi sosial, BPJS Kesehatan ialah single payer. Mengenai defisit yang dikeluhkan banyak pihak, Benjamin menerangkan sebabnya ialah iuran BPJS Kesehatan yang underprice.

“Kondisi sejak awal, sudah ada kondisi underpricing dari iuran tersebut sehingga menyebabkan defisit. Memang pemerintah menyampaikan kekurangan tersebut akan ditanggung negara baik dengan penanaman modal atau subsidi. Sampai tahun ke – 6 penyelenggaraan dilakukan evaluasi, kemudian Perpres No 75 lahir untuk penyesuaian iuran. Sudah cukup lama tidak ada kenaikan,” jelas Benjamin.

Benjamin pun memberikan pendapat – pendapat untuk mengatasi masalah BPJS Kesehatan. Ia menuturkan ada tahap – tahap yang akan dilalukan BPJS Kesehatan. Pertama melakukan kajian tentang manfaat JKN dan reshaping tentang kebutuhan dasar kesehatan. Ia menuturkan penjaminan sosial saat ini masih banyak yang beririsan. Benjamin menyatakan penting untuk menganalisis penjaminan sosial sehingga tidak ada penjaminan ganda. Setelah reshaping, manfaat JKN akan disesuaikan berdasarkan prinsip asuransi, masalah cakupan, finansial negara lalu ditetapkan kelas sandar.

“Kelas standar ini menjadi roadmap BPJS Kesehatan dan saat ini belum diimplementasikan. Apakah dengan tahapan dua kelas lalu jadi satu kelas. Yang pasti definisinya kelas standar. Setelah kelas standar akan ada tarif tunggal,” ujar Benjamin.

Sebagai pelaksana JKN, Benjamin pun menanyakan solusi yang ditawarkan oleh PKMK FK – KMK UGM untuk mengatasi masalah di BPJS Kesehatan. Menanggapi hal ini, Profesor Laksono menyatakan pihaknya tetap menghormati putusan MA. Meski demikian, ia mengusulkan adanya revisi UU SJSN. Selain itu Profesor Laksono Trisnantoro tetap menyarankan sistem single pool sebagai solusi mengatasi defisit BPJS Kesehatan. “UGM tidak sepakat single pool. Kalau tidak kompatermenisasi, dana untuk orang miskin akan dialirkan ke orang kaya,” tegas Laksono.

Materi presentasi dapat disimak pada link berikut MATERI SELENGKAPNYA

Seminar Sistem Rujukan Pasca Terbitnya PMK Nomor 3 Tahun 2020

Laporan-Kegiatan Monday, 2 March 2020

Reportase Webinar

SELENGKAPNYA

123

Universitas Gadjah Mada

Minat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan

Alamat: Lt.2 Gedung IKM, Jl Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta

Email   : hpm.fk@ugm.ac.id

Telepon: (0274) 547659, 542900

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju