Reportase Webinar
Sistem Rujukan Pasca Terbitnya PMK Nomor 3 Tahun 2020 :
Bagaimana Sistem Rujukan Pasien BPJS Dan Peran Dinas Kesehatan Provinsi?
Melanjutkan webinar diskusi PMK Nomor 3 Tahun 2020 dari perspektif pengelola rumah sakit pada 6 Februari lalu, Divisi Manajemen Rumah Sakit PKMK bekerja sama dengan Minat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan dan MMR FK – KMK UGM menyelenggarakan Seminar Outlook Arah Kebijakan Sistem Rujukan di Indonesia terkait dengan pasca terbitnya PMK Nomor 3 Tahun 2020 pada 13 Februari 2020. Seminar outlook ini melibatkan narasumber Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M. Sc., Ph. D dan dr. Sudi Indrajaya (PKMK UGM), serta pembahas Dr. dr. Yout Savithri, MARS (Kementerian Kesehatan RI), drg. Yuli Kusumastuti, M. Kes (Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes DIY), dr. Kuntjoro Adi Purwanto M. Kes (Ketua Umum PERSI), dan dr. Medianti Ellya Permatasari (Asisten Deputi Bidang Pembiyaan Manfaat Kesehatan Rujukan, BPJS Kesehatan).
Prof. Laksono memaparkan dengan membuka pertanyaan apakah PMK Nomor 3 Tahun 2020 akan berdampak pada rujukan? Apakah rujukan berjenjang akan terus dipertahankan oleh BPJS atau menjadi situasi bebas merdeka dalam hal rujukan? Bukti empirik menunjukkan bahwa 6 tahun terakhir sistem rujukan pelayanan perorangan rujukan tergantung pada sistem pembayaran. Dalam hal ini BPJS Kesehatan menjadi pemain kunci sebagai pembayar pelayanan namun juga memiliki kekuatan sebagai pembeli. Terkait dengan PMK Nomor 3 Tahun 2020 diperlukan rujukan berbasis kompetensi termasuk di dalamnya kompetensi tenaga medik dan ketersediaan peralatan terutama untuk berbagai kasus tindakan misalnya jantung, kanker, KIA, gagal ginjal, paru, dan lain – lain. Kondisi ini membutuhkan regulator (pemerintah, kemenkes, dan dinkes) untuk menentukan standar kompetensi rumah sakit yang tentunya dengan masukan dari organisasi profesi. Standar kompetensi rumah sakit perlu ada diskresi sesuai situasi daerah. Misal rumah sakit dengan kompetensi SC, di Jawa harus mempunyai Sp. OG, namun di pedalaman Papua, dokter umum dengan pelatihan khusus SC (taskshifting) karena pertimbangan keterbatasan distribusi tenaga spesialis medis.
Demikian pula tantangan terkait PMK Nomor 1 Tahun 2012, misal pelayanan KIA perlu dirinci lebih detail ke dalam beberapa level di berbagai tindakan medik, sehingga kemungkinan perlu merevisi PMK Nomor 1 Tahun 2012. Berdasarkan riset UGM selama 3 tahun terakhir ini, menunjukkan perlunya pemetaan sistem rujukan yang cermat di daerah. Sebagai contoh, rumah sakit berbasis kompetensi layanan kasdiovaskuler tentunya berbeda dari sisi jumlah dan kompetensi yang detailnya dapat dilihat pada bahan paparan terlampir.
Universal health coverage (UHC) menjamin akses pelayanan kesehatan dan diharapkan dengan PMK Nomor 3 Tahun 2020 dapat meningkatkan pemerataan layanan kesehatan seperti yang dipaparkan oleh dr. Yout. Terkait sistem rujukan UU Nomor 44 Tahun2009 terdapat kriteria rujukan, kompetensi, dan kualitas pelayanan. Jika terdapat revisi PMK Nomor 1 Tahun 2012 akan membuka peluang rujukan berbasis kompetensi. Apabila dikaitkan dengan PMK Nomor 3 Tahun 2020 rumah sakit bukan sekedar memberikan pelayanan, namun terdapat leveling kompetensi yang diawasi oleh Dinkes. Leveling kompetensi akan ditentukan oleh sistem rujukan nasional, misalnya peta leveling KIA, jantung, paru, dan lain – lain. Peralatan dan SDM perlu dipenuhi oleh rumah sakit, demikian pula perlu didukung oleh teknologi, sehingga pelayanan cepat dan tepat untuk menapis kasus dari layanan primer ke sekunder dan tersier. Ke depannnya akan ada bridging P-Care, SISRUTE, dan HFIS BPJS Kesehatan yang meliputi berbagai layanan, tidak hanya layanan emergency.
Dinkes DIY juga menyambut positif PMK Nomor 3 Tahun 2020 dimana rumah sakit akan semakin terbuka menangani kompetensi. Namun Dinkes DIY memandang bahwa PMK Nomor 1 Tahun 2012 kurang sesuai dengan PMK Nomor 3 Tahun 2020. Sebenarnya Dinkes DIY sudah memulai mengarah pada basis kompetensi yang sudah dimulai sejak 2016 bekerja sama dengan kolegium seperti KIA, jantung, dan lain – lain sehingga pasien tidak merasa terombang ambing ketika mendapatkan layanan rujukan. Dinkes harus melakukan pemetaan kompetensi yang dimulai di RSUD dengan sebutan layanan unggulan berdasar PMK Nomor 3 Tahun 2020. Jika dirasa layanan unggulan tidak sesuai kebutuhan masyarakat maka pemerintah akan menyediakan layanan unggulan yang dibutuhkan masyarakat di RSUD atau mempersilahkan rumah sakit swasta untuk menyediakan.
Dari sisi PERSI, PMK Nomor 3 Tahun 2020 perlu diharmoniasasikan dengan peraturan – peraturan lain dan membutuhkan komitmen bersama dalam menggerakkan “kapal besar” ini. PMK tersebut perlu didukung dengan akses dan kualitas yang baik, dimana rumah sakit harus kompeten dari sisi layanan, SDM, dan sarana prasarana. Keterlibatan dinas kesehatan juga diperlukan, demikian pula BPRS dan PERSI. Sistem tetap perlu diatur di rumah sakit dan rumah sakit perlu beradaptasi terhadap perubahan serta tetap berpedoman pada SOP maupun clincal pathway. Selain itu, apabila tarif tunggal akan diterapkan harus diatur terlebih dulu agar tidak membebani rumah sakit.
BPJS Kesehatan juga menganggap perlu adanya penyesuaian antara PMK Nomor 3 Tahun 2020 dengan regulasi lain yang ada. Menanggapi PMK Nomor 3 Tahun 2020 tersebut perlu adanya koordinasi untuk menetapkan pemetaan rujukan berjenjang dan penerbitan klasifikasi surat ijin operasional rumah sakit sesuai kompetensi. Dinas Kesehatan dan BPJS Kesehatan di wilayah perlu bekerja sama dalam pemetaan terkait kompetensi.
Beberapa masukan dari diskusi menggambarkan bahwa perlu memperhatikan pula sistem rujuk balik di dalam sistem rujukan berbasis kompetensi. Dalam hal ini harus ada sistem yang menjadi acuan, seperti SISRUTE yang telah dikeluarkan oleh Kemenkes. Di sisi lain, sistem rujukan mestinya diserahkan kepada daerah karena setiap daerah memiliki kondisi yang berbeda. Rujukan yang dirasa paling penting adalah rujukan emergency, mengingat bahwa rujukan ini belum berjalan dengan optimal. Rujukan emergency misal untuk PONEK, jantung, stroke, dan lain – lain perlu diperkuat dan disertifikasi.
Kesimpulan dari seminar ini antara lain berbagai peraturan terkait rujukan perlu sinkronisasi dengan PMK Nomor 3 Tahun 2020, dibutuhkan peran dinas kesehatan untuk melakukan pemetaan kompetensi dan membuat standar disesuaikan dengan kondisi wilayah, sistem rujuk balik perlu ditata yang dapat dimulai dari layanan emergency, serta perlu adanya analisis terkait tarif dan sistem rujukan. Dengan adanya PMK Nomor 3 Tahun 2020 terdapat beberapa harapan agar dapat diterapkan rujukan berbasis kompetensi dengan kriteria teknis yang ditetapkan oleh Kemenkes dan di setiap provinsi akan ada peta rujukan layanan berbasis kompetensi. Masih terkait dengan PMK Nomor 3 Tahun 2020, seminar ini akan berlanjut pada Rabu, 19 Februari 2020 dengan topik “Apa Dampak PMK Nomor 3 Tahun 2020 terhadap Tarif INA – CBG ? Bagaimana kemungkinan adanya Tarif Tunggal?.
Silakan klik tautan berikut ini untuk mengetahui kegiatan selanjutnya.